Import Substitution Industrialization (ISI) merupakan kebijakan ekonomi yang digunakan oleh negara-negara berkembang pada periode setelah Perang Dunia II. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dengan mengembangkan sektor industri dalam negeri.

ISI muncul sebagai respons terhadap kegagalan pasar bebas dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan di negara-negara berkembang. Pada masa itu, negara-negara tersebut mengimpor sebagian besar barang konsumsi dan bahan baku dari negara-negara maju, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan perdagangan yang merugikan perekonomian domestik.

Dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor, negara-negara yang menerapkan ISI mengambil langkah-langkah strategis, antara lain memberikan insentif kepada industri dalam negeri, seperti pembebasan pajak, subsidi, dan perlindungan tarif atas impor barang sejenis. Dengan demikian, diharapkan industri dalam negeri dapat tumbuh dan berkembang, serta mampu menghasilkan barang yang sebelumnya harus diimpor.

ISI memiliki beberapa keuntungan potensial, antara lain mengurangi ketergantungan negara terhadap impor, menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta membangun kapasitas teknologi dan industri dalam negeri. Namun, kebijakan ini juga memiliki beberapa kelemahan, seperti risiko proteksionisme, keterbatasan pasar domestik, dan kurangnya daya saing internasional.

Secara keseluruhan, kebijakan Import Substitution Industrialization dimaksudkan untuk menggeser orientasi ekonomi dari pasar global ke pasar domestik, dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan ekonomi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap negara-negara maju. Kebijakan ini telah digunakan oleh beberapa negara seperti Brasil, Meksiko, dan India pada masa lalu, meskipun saat ini pendekatan yang lebih moderat seperti kebijakan open economy lebih umum digunakan.